x

Kekayaan SDA, Investasi dalam Mitigasi Bencana jadi Penyelamat Keberlanjutan Usaha Industri

waktu baca 4 menit
Selasa, 2 Apr 2024 07:41 0 84 Redaksi

DelikAsia.com, (Jakarta) |  Indonesia yang dianugerahi kekayaan sumber daya alam karena letak geografis dan geologinya harus menghadapi kenyataan sebagai negara yang lengkap bencananya. Kondisi ini tentu juga berpengaruh terhadap perkembangan dunia industri. Oleh karena itu, pelaku usaha wajib berperan aktif dalam upaya penanggulangan bencana. Diperlukan kemauan untuk menginvestasikan sebagian sumber daya perusahaan untuk dapat menjamin keberlanjutan bisnis.

Topik di atas dibahas dalam acara bertajuk “NGOPI Bareng BNPB” edisi bulan Maret 2024 yang mengambil tema “Industri Berbasis Mitigasi Bencana dengan Sentuhan Teknologi”. Program ini merupakan rangkaian menuju ADEXCO (Asian Disaster Management & Civil Protection Expo & Conference) dan GFSR (Global Forum for Suistanable Resilience) 2024 yang akan diselenggarakan pada tanggal 11-14 September 2024.

Acara ini menghadirkan narasumber Prof. Indroyono Soesilo dari CTIS (Center for Technology and Innovation Studies) dan Sujica W Lusaka, Head CFOM (Corporate Fire Operation Management) Asia Pulp & Paper (APP) Sinarmas.

Indroyono mengingatkan tentang kondisi geologi Indonesia yang merupakan bagian dari Ring of Fire, yaitu wilayah di sekeliling Samudra Pasifik yang memiliki banyak aktivitas kegempaan dan vulkanisme. Hal ini menyebabkan indonesia rawan terhadap bencana, namun sekaligus dilimpahi kekayaan minyak dan gas alam serta berbagai mineral ekonomis.

Demikian pula kondisi geografis Indonesia menyebabkan negara ini terpengaruh oleh anomali iklim ENSO (El Niño-Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) yang membuat musim kemarau menjadi lebih panjang. Dampaknya, Indonesia lebih rawan mengalami bencana kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan. Pada saat yang sama, anomali iklim tersebut membuat kawasan laut Indonesia berlimpah ikan.

Dua sisi yang selalu berdampingan antara bencana dan anugerah ini menuntut kita untuk mampu menjalankan pemanfaatan sumber daya alam dan memperkuat resiliensi terhadap bencana secara beriringan. Penggunaan teknologi, misalnya berupa buoy cuaca yang telah terpasang di lautan Indonesia merupakan salah satu wujud upaya tersebut.

Indroyono menyebut dengan sistem pemantauan cuaca saat ini, potensi kemarau panjang akibat anomali iklim telah bisa dilihat sejak 12 bulan sebelumnya. Data cuaca ini pula yang menjadi satu pertimbangan penting untuk perusahaan pulp dan paper APP Sinarmas dalam memitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dapat menyebabkan perusahaan kekurangan kayu sebagai bahan baku dan asapnya dapat merusak tisu yang diproduksi. Hal ini mendorong APP Sinarmas untuk menyusun program yang komprehensif untuk menanggulangi kebakaran hutan.

Sujica menjelaskan APP Sinarmas menjalankan empat pilar penanggulangan kebakaran hutan yang disebut dengan Integrated Fire Management. Empat pilar itu adalah Prevention, Preparation, Early Warning, dan Rapid Response.

Prevention merujuk pada bagaimana perusahaan melibatkan masyarakat agar tidak membuka lahan dengan cara membakar, mengingat sebagian besar kasus kebakaran hutan disebabkan oleh manusia. Perusahaan membuat program pemberdayaan masyarakat bernama Desa Makmur Peduli Api yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan tanpa pembukaan lahan dengan cara membakar.

Pada tahapan Preparation dan Early Warning, Pemanfaatan teknologi diwujudkan dalam bentuk penggunaan satelit kamera termal untuk memantau titik api. Selain itu, APP Sinarmas juga telah memasang AWS (Automatic Weather Station) secara mandiri, yang berfungsi untuk memantau tingkat bahaya kebakaran hutan di wilayah konsesi perusahaan dan sekitarnya. Perusahaan juga memiliki beberapa helikopter yang digunakan untuk pemantauan titik api secara konvensional maupun untuk upaya pemadaman bila terjadi kebakaran hutan pada tahapan Rapid Response.

Indroyono menilai bahwa manajemen kebakaran hutan APP Sinarmas merupakan contoh praktik baik yang perlu direplikasi oleh pelaku lain di sektor swasta. Tidak hanya dalam hal mitigasi bencana, namun juga untuk mencegah kerusakan lingkungan. Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan terbukti tidak semata menjadi beban anggaran, namun juga merupakan investasi yang berdampak baik bagi keberlanjutan bisnis.

Peran aktif pihak swasta adalah hal krusial dalam membangun resiliensi terhadap bencana sebab pihak swasta memiliki kepentingan untuk terhindar dari bencana, serta memiliki sumber daya untuk menerapkan teknologi kebencanaan dan memberdayakan masyarakat di sekitar lokasi perusahaan. Dengan demikian, ketangguhan bencana di Indonesia mutlak hasil kolaborasi dan inklusi lintas sektor termasuk pihak swasta.[**]

 

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x