DelikAsia.com, (Jakarta) | Jaksa Agung Republik Indonesia, melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, memimpin ekspose virtual pada Selasa, 11 Februari 2025, yang diselenggarakan untuk menyetujui penyelesaian sembilan perkara melalui mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif). Salah satu perkara yang diselesaikan melalui jalur tersebut adalah perkara yang melibatkan tersangka Aidil Adha alias Uci bin Teno, yang diduga melakukan pencurian pada 9 Juni 2024.
Kronologi peristiwa bermula ketika tersangka mengambil sebuah handphone merk VIVO Y21S warna Pearl White milik Usni bin M. Juhar, yang diletakkan di dashboard sepeda listrik. Kejadian itu terjadi ketika saksi Anak Irwansyah bin Yudi melihat tersangka mendekati sepeda listrik yang digunakan oleh saksi lainnya, Usna Hadisya Arafah. Meskipun saksi sempat mengejar, tersangka berhasil melarikan diri dan menjual handphone tersebut seharga Rp250.000 di Desa Lembak, Muara Enim. Tersangka kemudian menggunakan uang hasil penjualan untuk ongkos perjalanan ke Padang.
Usni bin M. Juhar sebagai korban mengalami kerugian material sekitar Rp2.799.000. Setelah dilakukan mediasi oleh Kejaksaan Negeri Prabumulih, tersangka mengakui kesalahannya, meminta maaf kepada korban, dan berjanji untuk mengganti kerugian korban sebesar Rp2.400.000. Proses perdamaian ini diikuti dengan pengajuan permohonan penghentian penuntutan oleh Kejaksaan Negeri Prabumulih yang kemudian disetujui oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum melalui mekanisme keadilan restoratif.
Dalam proses keadilan restoratif ini, tersangka tidak hanya meminta maaf, tetapi juga berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Sementara korban menerima permintaan maaf tersebut dan sepakat untuk menghentikan proses hukum, dengan syarat tersangka mengganti kerugian yang ditimbulkan. Setelah mempertimbangkan seluruh aspek hukum dan sosial, keputusan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini akhirnya disetujui dalam ekspose virtual tersebut.
Selain perkara Aidil Adha, ekspose tersebut juga menyetujui penghentian penuntutan dalam delapan perkara lainnya yang juga diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif. Beberapa perkara ini melibatkan kasus penganiayaan dan pencurian yang dilakukan oleh tersangka dari berbagai wilayah seperti Kejaksaan Negeri Ngada, Kejaksaan Negeri Rote Ndao, hingga Kejaksaan Negeri Samosir.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif mencakup beberapa pertimbangan, antara lain adanya proses perdamaian yang dilaksanakan sukarela, tanpa tekanan maupun intimidasi, dan kesepakatan antara tersangka dan korban untuk tidak melanjutkan permasalahan ke pengadilan. Tersangka juga belum pernah dihukum sebelumnya, dan ancaman pidana yang dihadapi tidak lebih dari lima tahun. Selain itu, penghentian penuntutan ini didasari oleh pertimbangan sosiologis serta respon positif dari masyarakat.
Keputusan ini juga diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan mendukung penerapan keadilan yang lebih humanis, sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020. Dengan demikian, diharapkan penyelesaian perkara secara damai ini dapat menjadi alternatif yang lebih baik dan mempercepat proses hukum, mengurangi beban pengadilan, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan Indonesia.
JAM-Pidum mengimbau agar seluruh Kepala Kejaksaan Negeri segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai dengan pedoman yang ada, guna mewujudkan kepastian hukum dan mendukung upaya perdamaian di masyarakat.[Safar]
Tidak ada komentar